Mencoba memaknainya saat
di Panti Asuhan An-Nur Bantul
Oleh M. Rabi’e*
Minggu, 5 Mei 2013,
keluarga Ilmu Administrasi Negara (IAN) UNY 2012 berbagi 'rasa kasih' di sebuah
Panti Asuhan. Lokasi tepat di Dusun Bantulkarang, Kelurahan Ringinharjo, Kec. Bantul,
Kab. Bantul. Kegiatan ini diakomodir secara bersama-sama antara kelas A dan B.
Tidak hanya berbagi kasih sayang, sejumlah temen-temen juga rela menyisikan
barangnya untuk disumbangkan, disamping uang iuran 10.000; yang memang dipatok.
Temen-temen yang ikut kurang lebih 40
orang yang terdiri dari kelas A dan B. Dari sekian banyak itu, tidak keseluruhan
membawa motor--termasuk saya. Segelintir orang itu dibonceng oleh
temennya yang membawa motor. Ada yang saya salut dari perkataan Hardian Wahyu
Widianto,
"Bagi yang membawa motor, tolong selagi masih ada yang bisa diboncenge
untuk menitip motornya guna hemat BBM". Saya memaknainya lebih dari itu, yaitu sebuah srategi metafor untuk mengikat kekeluargaan kita
(IAN UNY 2012). Kira-kira seperti itu Hardian.
Pukul 08.30 WIB akhirnya rombongan
berangkat juga, setelah satu setengah jam menunggu kedatangan temen-temen yang
lain. Sempat Farid Nabawi berbisik--orang yang saya boncenge, "Molor ini
Rob...". Saya diam saja, karena tahu menunggu itu memang membosankan. Tak
apalah, hari Minggu saya mengartikannya hari refreshing dalam menikmati
alam kebebasan, setelah dirundung amanah organisasi kampus dan ditempa sekian banyak
tugas dari dosen.
Sekitar pukul 10.00 WIB akhirnya
sampai juga di lokasi tempat para santri itu diasuh--Kec. Bantul. Di situ, Yola
Oktaviana (Ketua panitia)
dan Uhsina Huda telah menunggu kedatangan rombongan kami. Tak berselang lama,
Saya, Yola, dan Ade menemui Pengurus Panti Asuhan An-Nur
untuk mengucapkan permohonan maaf atas keterlambatan yang kami tak sengaja
sekaligus memohon kesudiannya untuk memberi prakata sambutan waktu acara seremonial
dimulai.
Setelah para santri panti asuhan
berkumpul di Masjid An-Nur (utara pondok tempat tidur dan belajar mereka) acara
pun dimulai. Secara terpaksa saya sebagai MC: setelah dibuka dengan pembacaan
doa, dilanjutkan sambutan dari saudara Yola Oktaviana sebagai perwakilan pihak
pengunjung. Tak banyak yang dia sampaikan: tujuan bakti sosial, serta ucapan
maaf dan terimakasih terhadap pengurus dan adik-adik panti asuhan. Sekitar
tujuh menit, mek dia serahkan kepada saya.
Giliran Pengurus Panti Asuhan memberi
sambutan, peserta yang terdiri dari berbagai tingkatan usia itu terdiam,
termasuk teman-teman IAN yang bercambur baur di situ. Suasana masjid penuh arti
persahabatan, yang remaja ngumpul dengan anak-anak yang masih TK. Ya, di antara
anak panti itu ada yang masih berumur enam sampai tujuh tahunan. Mereka kumpul
bersama yang sudah lulus SMA bahkan satu orang telah semester dua di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Namun persahabatan di antara mereka begitu rukun sekali.
Pada waktu yang bersamaan saya
teringat sewaktu masih menjadi santri aktif di Pondok Pesantren Annuqayah
Sumenep Jawa Timur. Tak mengenal usia--tua, muda, SD, SMP, SMA, Mahasiswa,
bahkan yang sudah lulus sekalipun berbaur rata penuh cinta dan kasih. Tak
jarang saya meminta bantuan mereka yang sudah seneor. Belajar kitab, belajar
organisasi, belajar menulis arab, membaca al-Quran, dan banyak kisah indah yang
terlintas dalam pikiran. Saya melihat mereka saling mengasihi diantara strata
sosial dan umur yang jauh berbeda. Seolah saya tidak menemui stratifikasi
sosial dalam wadah panti asuhan itu.
Sampailah pada acara yang terakhir
yaitu "Bergembira bersama". Dalam hal ini saya mempersilahkan Bangkit
Setyo Aji
dan Anjar Presti Paindian untuk memimpinnya. Wah saya salut sama kalian
berdua, menguasai forum, kata-katanya akrab, hampir semua
terhibur. Semua gembira. Sorak tawa menggemma dalam masjid yang berukuran sedang
itu. Saya kira, dan mungkin semua orang sepakat, bahwa kepuasan batin menjadi
penentu utama orang bahagia. Ini menunjukkan bahwa temen-temen semua (IAN UN
2012) telah membantu secara moral, dan saya yakin mereka hilang rasa sakitnya terpisah
dari orang tua, diasuh oleh orang yang mungkin tidak mereka kenal sebelumnya.
Sumbangan yang tak ternilai harganya.
Kembali saya teringat saat hari
pertama menjadi santri. Hari dimana saya diantarkan dari rumah sampai di Pondok
Pesantren Annuqayah. Hari perpisahan dengan sanak keluarga, tetangga, teman,
guru ngaji, menuju kehidupan serba baru. Kehidupan yang menuntut mandiri,
kehidupan sebatang diri. Teringat waktu orang tua meninggalkan saya sendiri
setelah dipasrahkan kepada sang kiai. Tak cukup air mata meleh, suara
tangis tak dapat saya bendung. Berpisah memang bukan hal yang mudah, diperlukan
waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
Setelah sekian lama basa-basi,
bermain besama, belajar kelompok, akhirnya sampailah pada puncak acara,
sayunara. Semua panitia bersalaman kepada adik-adik secara bergilir dalam
bentuk lingkaran besar. Rasa kekeluargaan kami begitu erat, seperti akar pohon
beringin yang tak mungkin terhempas angin buting beliung sekalipun. Semoga
untuk selamanya.
Saatnya pulang pun tiba, temen-temen
keluar dari masjid tempat acara berlangsung. Panas trik matahari menusuk baju
PDL yang saya pakek, karena warnanya hitam, panas semakin terasa. Sesegera saya
bersama Yola Oktaviana mewakili panitia yang lain pamitan dengan penuh bangga
karena acara berlangsung begitu sempurna.
Catatan di Lingkaran Meja Makan
Begitu sampai di sebuah tempat makan,
kami berjalan bersama kebelakang mencari tempat yang sejuk untuk meneguk
secangkir es jeruk. Kebetulan saya memilih es jeruk. Sambil menunggu pesanan
makanan, kami bercanda tawa melihat permainan yang dipimpin oleh Hardian Wahyu
Widianto, bersama Bangkit Setyo Aji. Permainan itu adalah menunjuk salah satu anak
IAN untuk menyebutkan nama teman-temannya. Giliran Sukoco Hadi S, rupanya banyak yang
lupa nama diantara teman-teman yang membentuk lingkaran
itu. Akhirnya, teman kelahiran Jakarta itu diminta perkenalan ulang. Meminjam bahasanya
Norgitya Dwi Wahyu Putra,
"Diinstal ulang". Sebetulnya ini adalah strategi bijak untuk
menjalin persahabatan lebih erat lagi. Terima kasih keluargaku, Ilmu
Administrasi Negara UNY akan semakin jaya ada kalian.
Semoga menuai sukses kita semua. Tak menunggu lama, semangkok makanan sudah
siap kami lahap. Begitu lapar melilit perut ini.
Kalau boleh jujur, saya sebetulnya
tak mengenal nama per-orang secara keseluruhan. Terlalu banyak kawan, disamping
itu, paling susah saya memang mengingat nama. Kemudian muncul persepsi pribadi,
"Nama itu tak penting, lebih penting saling me-'rasa' dan memahami. Itu
saja".
Tak kalah lucunya saudara Ade Admiral
Amshahdi, kelahiran Banyuangi, selalu ada tingkah yang membuat kami tertawa.
Tampang orangnya seperti pelawak, lucu, dan tak pernah dia murung dalam kondisi
apapun. Berbeda dengan Eko Purnomo, dia pendiam, tak banyak bicara, namun ternyata juga membuat heboh suasana di lingkaran meja makan itu: Dia dijadikan
objek sebagai kekasih sang ketua panitia acara itu (Yola Oktaviana). Aku tak
mengerti kenapa ada pelesetan seperti itu, apa benar ada hubungan yang masih
belum jelas atau apa. Sudahlah, itu urusan mereka berdua.
Selesai makan, saatnya membayar. Tak
bermewah-mewah, cuma 11.200 rupiah secara keseluruhan. Temen-temen yang lain
hampir sama, membayar tak jauh dari angka itu.
Bertepatan pukul 14.00
kami pun keluar meninggalkan ruang makan yang sejuk itu. Sejuk karena berada di
alam terbuka, di kelilingi taman ikan, pohonan nan hijau, serta semilir angin
dari berbagai penjuru. Bersama rombongan kami pun pulang, meninggalkan kenangan
indah ceria bersama kawan-kawan senasib seperjuangan.
0 komentar:
Posting Komentar